Padang pasir membentang luas. Matahari bersinar menyala seolah hendak membakar ubun-ubun kepala. Di sebuah jalan yang membelah padang pasir tampak seorang berjubah putih sedang berjalan kelelahan. Orang itu tak lain adalah Abdullah bin Umar r.a., salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang terkenal kealiman dan kezuhudannya. Ia sedang berjalan keluar dari Madinah menuju Makkah untuk beribadah di Baitullah.
Berkali-kali Abdullah bin Umar r.a. menghentikan langkahnya untuk berhenti sesaat guna meneguk seteguk air perbekalannya. Namun sayang, kantong airnya telah kering kerontang. Ia benar-benar kehausan. Ia menengok ke sekeliling siapa tahu ada orang badui atau penggembala yang bisa memberinya seteguk air penawar dahaga. Namun yang ia temukan adalah warna kecoklatan samudera pasir sejauh mata memandang.
Ia tetap sabar dan terus berjalan sampai akhirnya sepasang matanya menangkap beberapa titik hitam dan putih di kejauhan sana. Hatinya terasa lega, berkali-kali ia mengucapkan syukur alkhamdulillah. Ia yakin titik hitam dan putih itu adalah manusia. Ia terus melangkahkan kaki mendekati titik hitam dan putih itu. Ketika sudah dekat, perkiraannya tidak meleset. Sebab titik-titik hitam dan putih adalah seorang penggembala dan kambing-kambingnya.
Ketika Abdullah bin Umar r.a. sudah berada tak jauh dari penggembala itu, tiba-tiba terlintas dalam benaknya untuk menguji penggembala itu. Ia ingin tahu apakah ajaran Islam telah sampai ke tengah padang pasir yang terpencil jauh itu. Ia juga ingin tahu apakah penggembala itu telah menerima ajaran suci yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
Setelah mengucapkan salam, Abdullah bin Umar r.a. berkata pada penggembala yang masih bocah itu,
"Hai bocah, aku ingin membeli seekor kambing yang kau gembalakan ini. Bekalku sudah habis."
"Maaf Tuan, aku hanyalah seorang budak yang bertugas menggembalakan kambing-kambing ini. Aku tidak bisa menjualnya. Mereka bukan milikku, tapi milik tuanku. Dan aku tidak diberi wewenang untuk menjualnya," jawab penggembala kambing itu.
"Ah itu masalah mudah. Begini saja, juallah seekor saja kambing gembalaanmu padaku. Kambing yang kaujaga ini sangat banyak, sangat susah bagi pemiliknya untuk menghitung jumlahnya. Atau kalaupun dia tahu ada seekor kambingnya tidak ada, bilang saja telah dimangsa srigala padang pasir. Mudah sekali, bukan? Dan kau bisa membawa uangnya," bujuk Abdullah bin Umar r.a. dengan wajah tampak serius.
"Lalu, di mana Allah? Pemilik kambing ini memang tidak akan tahu dan bisa dibohongi. Tapi ada Dzat Yang Mahatahu yang pasti melihat dan mengetahui apa yang kita lakukan. Apa kau kira Allah tidak ada?" jawab penggembala itu mantap. Sungguh, jawaban itu membuat Abdullah bin Umar tersentak kaget. "Aku tidak diberi kuasa oleh pemilik kambing ini untuk menjualnya. Aku hanya diperbolehkan menggembalakannya dan meminum air susunya ketika aku membutuhkannya dan memberi minum para musafir yang kehausan," sambung penggembala itu sambil berjongkok, memerah susu seekor kambing dalam sebuah mangkuk. Begitu penuh berisi susu, ia memberikannya kepada Abdullah bin Umar.
"Minumlah Tuan, kulihat Anda kehausan. Jika masih kurang bisa tambah. Jangan kuatir, susu ini halal. Allah tahu itu halal sebab pemiliknya menyuruh aku untuk memberi minum musafir yang membutuhkan," terang penggembala itu dengan tutur kata yang halus dan ramah.
Abdullah bin Umar menerima mangkuk berisi susu itu dengan hati gembira. Ia minum sampai rasa hausnya hilang. Setelah itu ia memohon diri. Di jalan ia tidak bisa menyembunyikan tangisnya. Teringat kata-kata penggembala itu ia menangis, "Di mana Allah? Apakah kau kira Allah tidak ada?" Ia menangis mengingat bahwa seorang penggembala kambing di tengah padang pasir yang pakaiannya kumal ternyata memiliki rasa takwa yang begitu dalam. Ia memiliki kejujuran tinggi. Hatinya menyinarkan keimanan. Akhlaknya sungguh mulia. Ajaran Rasulullah SAW telah terpatri dalam jiwanya. Abdullah bin Umar terus melangkahkan kaki dengan berkucuran air mata.
Ia lalu mencari kampung terdekat dan menanyakan siapakah tuan dari penggembala kambing itu. Begitu berjumpa, Abdullah bin Umar langsung membeli budak itu dan langsung memerdekakannya. Seorang manusia jujur dan memiliki rasa ketakwaan kepada Allah yang begitu tinggi tidaklah sepatutnya menjadi hamba sahaya manusia. Ia hanya pantas menjadi hamba Allah SWT.
(Diambil dari "Bercinta untuk Surga: Kisah-kisah Islami Pembangun Jiwa," Habiburrahman Saerozi)
Berkali-kali Abdullah bin Umar r.a. menghentikan langkahnya untuk berhenti sesaat guna meneguk seteguk air perbekalannya. Namun sayang, kantong airnya telah kering kerontang. Ia benar-benar kehausan. Ia menengok ke sekeliling siapa tahu ada orang badui atau penggembala yang bisa memberinya seteguk air penawar dahaga. Namun yang ia temukan adalah warna kecoklatan samudera pasir sejauh mata memandang.
Ia tetap sabar dan terus berjalan sampai akhirnya sepasang matanya menangkap beberapa titik hitam dan putih di kejauhan sana. Hatinya terasa lega, berkali-kali ia mengucapkan syukur alkhamdulillah. Ia yakin titik hitam dan putih itu adalah manusia. Ia terus melangkahkan kaki mendekati titik hitam dan putih itu. Ketika sudah dekat, perkiraannya tidak meleset. Sebab titik-titik hitam dan putih adalah seorang penggembala dan kambing-kambingnya.
Ketika Abdullah bin Umar r.a. sudah berada tak jauh dari penggembala itu, tiba-tiba terlintas dalam benaknya untuk menguji penggembala itu. Ia ingin tahu apakah ajaran Islam telah sampai ke tengah padang pasir yang terpencil jauh itu. Ia juga ingin tahu apakah penggembala itu telah menerima ajaran suci yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
Setelah mengucapkan salam, Abdullah bin Umar r.a. berkata pada penggembala yang masih bocah itu,
"Hai bocah, aku ingin membeli seekor kambing yang kau gembalakan ini. Bekalku sudah habis."
"Maaf Tuan, aku hanyalah seorang budak yang bertugas menggembalakan kambing-kambing ini. Aku tidak bisa menjualnya. Mereka bukan milikku, tapi milik tuanku. Dan aku tidak diberi wewenang untuk menjualnya," jawab penggembala kambing itu.
"Ah itu masalah mudah. Begini saja, juallah seekor saja kambing gembalaanmu padaku. Kambing yang kaujaga ini sangat banyak, sangat susah bagi pemiliknya untuk menghitung jumlahnya. Atau kalaupun dia tahu ada seekor kambingnya tidak ada, bilang saja telah dimangsa srigala padang pasir. Mudah sekali, bukan? Dan kau bisa membawa uangnya," bujuk Abdullah bin Umar r.a. dengan wajah tampak serius.
"Lalu, di mana Allah? Pemilik kambing ini memang tidak akan tahu dan bisa dibohongi. Tapi ada Dzat Yang Mahatahu yang pasti melihat dan mengetahui apa yang kita lakukan. Apa kau kira Allah tidak ada?" jawab penggembala itu mantap. Sungguh, jawaban itu membuat Abdullah bin Umar tersentak kaget. "Aku tidak diberi kuasa oleh pemilik kambing ini untuk menjualnya. Aku hanya diperbolehkan menggembalakannya dan meminum air susunya ketika aku membutuhkannya dan memberi minum para musafir yang kehausan," sambung penggembala itu sambil berjongkok, memerah susu seekor kambing dalam sebuah mangkuk. Begitu penuh berisi susu, ia memberikannya kepada Abdullah bin Umar.
"Minumlah Tuan, kulihat Anda kehausan. Jika masih kurang bisa tambah. Jangan kuatir, susu ini halal. Allah tahu itu halal sebab pemiliknya menyuruh aku untuk memberi minum musafir yang membutuhkan," terang penggembala itu dengan tutur kata yang halus dan ramah.
Abdullah bin Umar menerima mangkuk berisi susu itu dengan hati gembira. Ia minum sampai rasa hausnya hilang. Setelah itu ia memohon diri. Di jalan ia tidak bisa menyembunyikan tangisnya. Teringat kata-kata penggembala itu ia menangis, "Di mana Allah? Apakah kau kira Allah tidak ada?" Ia menangis mengingat bahwa seorang penggembala kambing di tengah padang pasir yang pakaiannya kumal ternyata memiliki rasa takwa yang begitu dalam. Ia memiliki kejujuran tinggi. Hatinya menyinarkan keimanan. Akhlaknya sungguh mulia. Ajaran Rasulullah SAW telah terpatri dalam jiwanya. Abdullah bin Umar terus melangkahkan kaki dengan berkucuran air mata.
Ia lalu mencari kampung terdekat dan menanyakan siapakah tuan dari penggembala kambing itu. Begitu berjumpa, Abdullah bin Umar langsung membeli budak itu dan langsung memerdekakannya. Seorang manusia jujur dan memiliki rasa ketakwaan kepada Allah yang begitu tinggi tidaklah sepatutnya menjadi hamba sahaya manusia. Ia hanya pantas menjadi hamba Allah SWT.
(Diambil dari "Bercinta untuk Surga: Kisah-kisah Islami Pembangun Jiwa," Habiburrahman Saerozi)
Comments
Post a Comment
TERIMA KASIH ATAS KOMENTAR ANDA.