A. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari banyak kita temukan berbagai
macam permasalahan yang timbul terutama dalam masalah pernikahan.
Melihat realitas yang terjadi saat ini serta pergaulan muda mudi masa
kini banyak kita temukan terjadinya kasus-kasus perzinahan
yang berujung kepada terjadinya pernikahan dimana mempelai wanitanya
dalam kondisi hamil dan setelah itu lahirlah anak yang kemudian
dipertanyakan statusnya artinya disini siapakah yang akan menjadi wali
nikahnya nanti. Hal ini mungkin banyak dianggap sepele oleh sebagian
kalangan yang notabenenya kurang memahami masalah agama sehingga tidak
mempersoalkan lagi masalah tersebut serta menganggap hal tersebut
merupakan hal yang benar dan biasa terjadi dikalangan mereka.
Padahal
kalau kita merujuk kembali kepada masalah agama terutama dalam masalah
pernikahan maka ketika kita melihat syarat sahnya suatu pernikahan
adalah harus adanya wali[1],
maka jika terjadi dalam suatu pernikahan walinya tidak sah maka akan
berpengaruh kepada sah tidaknya suatu pernikahan dan implikasinya
ketika suatu pernikahan tidak sah maka hubungan yang dijalani tersebut
pun akan menjadi suatu hubungan perzinahan dan hal ini akan terjadi
terus sampai generasi seterusnya. Menyikapi hal tersebutlah penulis
akan coba memaparkan hal yang terjadi di daerah tertentu yang kemudian
penulis akan menganalisa dari aspek hukum islam serta hukum positif
yang berlaku di Indonesia di mana pada akhirnya penulis akan memaparkan
hukum mengenai hal tersebut.
B. DUDUK PERKARA MASALAH
Di
daerah tempat penulis tinggal yaitu tepatnya di salah satu daerah di
jatiasih, penulis pernah mendapatkan kasus di mana ada pasangan yang
berawal dari hubungan pacaran biasa kemudian berkembang ke arah
pertunangan atau dengan kata lain sudah dilamar. Ketika sudah dilamar
mungkin dari kedua belah pihak keluarga tersebut sudah menganggap
hubungan kedua pasangan tersebut telah sah sehingga orang tua dari
mempelai wanita ketika calon prianya berkunjung ke kediaman perempuan
maka tidak mempermasalahkan lagi jika si calon pria tersebut menginap
di rumah si perempuan tersebut walaupun satu kamar. Hal seperti inliah
yang kemudian mengakibatkan hamilnya si calon wanita sebelum
dilangsungkannya pernikahan dan setelah usia kandungannya tiga bulan
setengah baru dilangsungkannya pernikahan. Lalu lima bulan kemudian
anak tersebut lahir. kemudian ketika anaknya tersebut lahir serta
tumbuh dewasa dan kemudian menikah maka lelaki tersebutlah ( yang
dianggap sebagai bapaknya ) yang kemudian menjadi walinya. Padahal
kalau kita melihat kasus diatas, anak yang lahir tersebut adalah anak
yang lahir dari hubungan di luar nikah atau dengan kata lain bisa kita
sebut dengan anak zina.
C. ANALISA MASALAH
Dari
kasus diatas kita dapat mengambil suatu pelajaran yang sangat besar
dimana dalam hal ini kita akan menemukan masalah yaitu apakah yang
dianggap sebagai bapaknya itu bisa menjadi wali bagi anak perempuan
yang berasal dari hubungan di luar nikah tersebut. Untuk menjawab
masalah apakah lelaki yang dianggap sebagai bapaknya itu bisa menjadi
wali untuknya atau tidak ataupun siapakah yang akan menjadi wali dari
anak tersebut maka terlebih dahulu kita harus melihat dulu kepada siapa
anak tersebut dibangsakan atau dinasabkan, apakah kepada ibunya atau
kepada lelaki yang telah menghamili ibunya tersebut (bapaknya).
Dalam hukum islam para ulama berbeda pendapat tentang
masalah siapa yang menjadi wali nikah bagi anak zina atau anak yang
berasal dari hubungan di luar nikah. Dalam hal ini ulama sepakat anak
yang lahir karena perzinahan tetap mempunyai hubungan nasab dengan
ibunya. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam menetapkan hubungan
nasab dengan ayahnya. Apakah anak-anak yang lahir karena hubungan di
luar nikah itu menjadi anak yang sah bagi ayahnya atau tidak.
Menurut
imam Syafi’i, imam Malik dan kawan-kawan ; apabila salah seorang
laki-laki mengawini seorang perempuan yang belum pernah dikumpulinya
atau sudah pernah, maka bila waktu kurang dari enam bulan dari akad
perkawinannya perempuan tersebut melahirkan anak (bukan dari masa
berkumpulnya), anak yang dilahirkannya itu tidak dapat dipertalikannya
nasabnya kepada seorang laki-laki yang menyebabkan perempuan itu
mengandung. Perhitungan enam bulan ini dihitung dari waktu berkumpul.
Sedangkan imam Abu Hanifah memilih
akad nikah sebagai dasar perhitungan enam bulan tersebut dimana
konsekuensinya ketika anak tersebut lahir kurang dari enam bulan di
hitung dari akad nikah maka anak itu tidak bisa dipertalikan nasab
kepada ayahnya[2].
Menurut
imam As-Syaukani dalam kitab Nailul Awthar, perselisihan ulama dalam
menetapkan status anak hasil perzinahan itu karena mereka berbeda dalam
mengartikan kata firasy yang terdapat pada hadis yang diriwayatkan oleh
jama’ah ahli hadis. Hadis tersebut adalah sebagai berikut[3] :
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الولد للفراش وللعاهر الحجر. ( رواه الجماعة الا ابا داود ), وفى لفظ للبخارى لصاحب الفراش
“
Anak (hasil zina) adalah milik orang yang seranjang (seketiduran) dan
bagi pezina adalah hukuman rajam (HR. Jama’ah kecuali Abu Daud) . dan
dalam keterangan Bukhari anak zina adalah bagi pemilik tikar”
Imam Syafi’i dan imam Malik berpendapat bahwa wajah istidlal atau segi penunjukan dalil dari kata firasy yang
tersebut dalam hadis diatas ialah bermakna ibu, sehingga nasab anak
hasil perzinahan itu hanya kembali kepada ibunya saja. Pendapat mereka
itu juga di analogikan dengan ketentuan jumlah minimal bagi wanita
hamil yakni anak yang lahir kurang dari enam bulan sejak saat
berkumpulnya suami istri tanpa memperhatikan pernikahan, maka anak yang
lahir tersebut akan dinasabkan kepada ibunya saja.
Berbeda
dengan Abu Hanifah, beliau disamping berpegang teguh kepada yuridis
formil yakni keabsahan anak sebagai keluarga ayah dilihat dari masa
lahirnya tidak kurang dari jangka waktu enam bulan terhitung sejak
pernikahan ibu dengan ayahnya. Di samping itu, beliau juga mengambil
wajhu istidlal dari kata firasy ialah menunjukkan kepada laki-laki, pendapat ini berdasarkan sebuah hadis dari Abu Hurairah yaitu ;
عن ابى هريرة قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم اذا دعا الرجل امرأته فأبت ان تجيئ لعنتها الملائكة حتى تصبح (رواه البخارى)
“Nabi
SAW bersabda : “ Jika seorang laki-laki (suami) mengajak istrinya ke
firasynya kemudian istrinya menolak, maka malaikat melaknatinya sampai
pagi hari.” (HR. Bukhari)
Hadis diatas telah jelas menyatakan bahwa kata firasy tersebut berarti ranjang laki-laki karena menggunakan dhamir ghaib untuk laki-laki (firasyihi).
Dari
dua argumen diatas kita dapat melakukan analisa terhadap kasus yang
telah penulis paparkan diatas bahwasanya dalam kasus diatas ketika
melihat argumentasi dari dua pendapat diatas maka kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa anak yang berasal dari hubungan diluar nikah tersebut
tidak bisa di bangsakan kepada ayahnya. Jadi anak tersebut hanya
dinasabkan kepada ibunya saja sehingga hal ini berimplikasi kepada
tidak bisanya lelaki yang dianggap sebagai ayahnya tersebut menjadi
wali nikah baginya. Namun demikian, ketika anak tersebut hanya
dinasabkan kepada ibunya maka siapakah yang akan menjadi wali nikah
bagi anak perempuan yang lahir sebab hubungan di luar nikah tersebut.
Dalam
kondisi seperti ini maka yang akan menjadi wali bagi anak tersebut
adalah sulthan atau wali hakim. As-Syaikh ibnu ‘Usaimin rahimahullahu
berkata dalam As-Syarhul Mufti bahwa yang dimaksud dengan Sulthan
adalah imam (amir) atau perwakilannya. Kalau di Indonesia mereka adalah
petugas (penghulu) Kantor Urusan Agama (KUA). Pendapat ini yang
menyatakan bahwa wali bagi anak zina adalah sulthan. Hal ini
berdasarkan kepada hadis Nabi SAW [4]:
عن عائشة قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أَيُّمَا
امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ,
فَاِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا,
فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ. اخرجه
الاربعة الا النسائ, وصححه ابو عوانة, وابن حبان و الحاكم
“Siapa
saja wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya
batil dan bila laki-laki itu telah menggauilinya maka ia berhak
mendapat mahar sebagai ganti atas hubungan yang telah dilakukan oleh
lelaki itu dengan dirinya dan jika para wali berselisih untuk
menikahkannya maka sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak
punya wali.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Abu ‘Awanah, Ibnu Hibban, Al-Hakim)
As-Shan’ani
berkata dalam Subulus Salam : hadis ini menunjukkan bahwa sulthan
adalah wali bagi seorang wanita yang tidak mempunyai wali dalam
pernikahan, baik karena memang tidak ada walinya atau walinya ada
tetapi tidak mau menikahkannya. Kalau kita melihat kasus diatas maka
anak perempuan tersebut termasuk dalam perempuan yang tidak mempunyai
wali karena anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada ayahnya sehingga
nasabnya tersebut hanya dibangsakan kepada ibu. Dengan hanya dinasabkan
kepada pihak ibu bukan berarti hal ini membenarkan bahwa ibu bisa
menjadi wali terhadap anak perempuan tersebut. Hal ini sesuai dengan hadis nabi SAW yaitu[5] ;
عن
ابى هريرة رضى الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لاتزوج
المرأة المرأة ولاتزوج المرأة نفسها. (رواه الدار قطنى و ابن ماجه)
“Dari
Abu Hurairah r.a. beliau berkata : Rasulullah SAW bersabda, Wanita itu
tidak sah menikahkan wanita lain dan tidak sah pula menikahkan
dirinya”. (HR. Ad-Daruquthni dan Ibnu Majah)
Selain
itu, tidak bisa pula wali dari pihak ibu menjadi wali terhadap anak
perempuan tersebut artinya ‘ashabah dari pihak ibu tidak bisa menjadi
wali terhadap anak perempuan tersebut walaupun ‘ashabah ibunya itu
merupakan ‘ashabah anak itu. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan
oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni bahwa kedudukan mereka sebagai
‘ashabah anak zina itu hanya dalam hal waris semata dan tidak berlaku
dalam perkara perwalian nikah. Karena hubungan nasab mereka hanya melalui jalur ibu, sehingga tidak ada hak perwalian untuk mereka.
Sehingga hal ini menunjukkan bahwa anak yang lahir dari hubungan di
luar nikah tersebut dianggap tidak mempunyai wali sehingga wali
hakimlah yang akan menjadi walinya.
Akan
tetapi, hal tersebutpun harus dikaitkan pula dengan pendapat imam
mazhab artinya bahwa masalah wali nikah anak zina tersebut kembali lagi
kepada mazhab yang digunakan karena para ulama berbeda pendapat
mengenai masalah wali nikah sebagai syarat sah suatu pernikahan
sehingga hal inipun akan berimplikasi kepada penentuan wali nikah
terhadap anak zina.
Menurut
imam Syafi’I, Maliki dan Hanbali, kehadiran wali merupakan salah satu
rukun nikah artinya disini bahwa bagi seorang perempuan tidak sah
menikah tanpa adanya wali. Yang menjadi dasar penetapan keharusan adanya wali adalah Qur’an dan hadis. Dalil-dalil al-qur’an adalah sebagai berikut[6] :
An-Nur ayat 32
Dan
kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Al- Baqarah ayat 221
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Inti
alasan pada kedua ayat tersebut adalah bahwa Allah menyerahkan perkara
perkawinan kepada pihak pria, bukan kepada kaum wanita. Jadi
seolah-olah Allah berfirman, Wahai para wali janganlah kamu kawinkan wanita-wanita yang kamu urus dengan pria-pria yang masih musyrik.
Disamping itu Allah juga berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 232 yaitu;
Apabila
kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah
kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya[146], apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan
cara yang ma'ruf. Itulah
yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada
Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Dalam ayat tersebut kata yang secara khusus menunjukkan larangan mempersulit sekaligus harus ada persetujuan dari wali adalah فلا تعضلو هن
. imam Syafi’i mencatat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kasus
Ma’qal bin Yasir yang menolak menikahkan saudarinya dengan seorang pria
idamannya[7].
Adapun
dasar hadis yang mengharuskan wali dalam perkawinan sekaligus larangan
wanita menikahkan dirinya sendiri adalah hadis dari Aisyah yaitu :
عن عائشة قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ........( اخرجه الاربعة الا النسائ, وصححه ابو عوانة, وابن حبان و الحاكم)
“Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya batil” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Abu ‘Awanah, Ibnu Hibban, Al-Hakim)
Di samping itu juga terdapat asar Umar yang menolak perkawinan tanpa wali yaitu ;
ان عمر بن الخطاب رضى الله عنه رد نكاح امرأة نكحت بغير ولي
“Bahwasanya Umar bin Khatab menolak/membatalkan pernikahan seorang wanita yang menikah tanpa adanya wali”
Semua
dalil-dalil diatas merupakan argumentasi yang dijadikan sebagai dasar
atas keharusan adanya wali. Hubungannya dengan wali nikah anak zina
yaitu ketika kita menggunakan mazhab ini atau yang berpegang pada
pendapat imam Syafi’i, Maliki atau Hanbali maka bagi anak zina tersebut
yang walaupun hanya di nasabkan kepada pihak ibu maka dia tetap harus
memiliki wali. Di mana yang menjadi wali terhadap anak zina adalah wali
hakim sesuai dengan apa yang telah penulis paparkan diatas pada masalah
wali anak zina atau akibat hubungan di luar nikah dan ibunya tidak bisa
menjadi wali terhadap anak zina tersebut.
Sedangkan
kalau kita melihat kepada pendapat Abu Hanifah tentang masalah wali
nikah maka beliau berpendapat dalam kitab Al-Mabsuth bahwa perkawinan
tanpa wali (menikahkan diri sendiri) adalah boleh asalkan dengan syarat
sekufu. Dasar yang membolehkan perkawinan tanpa wali menurut Abu
Hanifah adalah Quran dan Sunnah. Dalil Al-Quran adalah sebagai berikut :
Al-Baqarah ayat 240
Dan
orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).
akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu
(wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang
ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Al-Baqarah ayat 230
Kemudian
jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan
itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.
kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa
bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
Al-Baqarah ayat 232
Apabila
kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah
kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya,
apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang
ma'ruf. Itulah
yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada
Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Dalam hal ini Abu Hanifah berpendapat bahwa akad dalam ayat-ayat diatas semuanya disandarkan kepada wanita (hunna), yang berarti akad tersebut menjadi hak atau kekuasaan mereka. Demikian juga tunjukan (khitab) al-baqarah ayat 232 adalah suami-suami, sesuai dengan awal ayat (واذا طلقتم النساء
). Dengan demikian tunjukan ayat ini adalah kalau masa ‘iddah mantan
istrinya sudah habis, mantan suami tidak berhak mencegah mantan
istrinya menikah dengan pria lain. Oleh karena itu ayat ini tidak
berhubungan dengan para wali, sebab yang dilarang mempersulit adalah
suami-suami.
Adapun dalil sunnah yang mendukung kebolehan wanita menikah tanpa wali adalah hadis yang berbunyi :
عن ابن عباس رضى الله عنه : ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : الأيم احق بنفسها من وليها (رواه متفق عليه)
“ Seorang Al-Ayyim lebih berhak kepada dirinya daripada walinya”
Penyebutan al-ayyim
dalam hadis ini menurut ahli bahasa dan juga menurut pendapat
al-Karakhi adalah wanita yang tidak mempunyai suami, baik gadis maupun
janda meskipun Muhammad as-Saibani berpendapat bahwa arti kata al-ayyim
dalam hadis ini adalah janda. Dasar quran dan hadis- tersebut ditambah
lagi dengan tindakan (asar) Umar, Ali Abdullah bin Umar yang
membolehkan nikah tanpa wali, serta tindakan ‘Aisyah yang menikahkan
anak perempuan saudaranya bernama hafsah binti Abdur Rahman. Menurut
as-Sarakhi dari dalil-dalil diatas dapat ditarik kesimpulan tentang
sahnya pernikahan tanpa adanya wali.
Dengan
demikian dapat kita simpulkan bahwa meurut pandangan Abu Hanifah, wali
dalam pernikahan bukanlah merupakan syarat sahnya suatu pernikahan
artinya walau tanpa adanya wali seorang wanita dapat menikahkan
dirinya. Dengan demikian dalam kasus anak yang lahir akibat hubungan di
luar nikah maka tidak menjadi persoalan besar mengenai siapa wali
nikahnya karena dalam pandangan Abu Hanifah seorang perempuan bisa
menikahkan dirinya sendiri. Maka bagi anak zina tidaklah memerlukan
wali karena ia bisa menikahkan dirinya sendiri.
Kalu
kita mencoba menela’ah masalah anak yang lahir sebab hubungan di luar
nikah dari segi hukum yang berlaku di Indonesia terutama dalam UU No. 1
tahun 1974. Maka kita akan menemukan dalam pasal 42 dijelaskan “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.
Maka kalau kita melihat sekilas bunyi pasal diatas maka ketika kita
kaitkan dengan kasus yang penulis paparkan diatas maka anak tersebut
bisa dianggap anak yang sah karena anak tersebut lahir dalam perkawinan
dan ketika dia dikatakan anak yang sah maka anak tersebut memiliki
hubungan keperdataan juga dengan ayahnya sehingga ayahnya tersebut bisa
menjadi wali terhadap anak itu. Hal ini juga sesuai dengan apa yang
tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 99.
D. KESIMPULAN
Dari
uraian yang telah penulis paparkan diatas telah jelas bahwa dalam
masalah wali nikah anak yang lahir sebab hubungan di luar nikah
sebagaimana kasus yang telah penulis paparkan diatas, maka dalam hal
ini terdapat beberapa kesimpulan. Pertama, melihat kasus diatas
maka berdasarkan pendapat para ulama maka anak tersebut tidak bisa
dinasabkan kepada ayahnya karena anak tersebut lahir kurang dari enam
bulan dari semenjak pernikahannya, baik itu dihitung dari akad maupun
watak. Di mana hal ini mengakibatkan bahwa anak tersebut tidak
mempunyai wali. Kedua, ketika kita berpegang kepada pendapat
jumhur ulama yang mengatakan bahwa wali merupakan rukun sahnya nikah
maka bagi anak zina tersebut harus pula mempunyai wali untuk sah
pernikahannya maka karena anak tersebut tidak ada wali maka dalam hal
ini sultanlah atau wali hakim yang menjadi walinya. Ketiga,
sedangkan kalau kita berpegang kepada pendapat Abu Hanifah, dimana wali
bukan merupakan syarat sahnya nikah maka bagi anak zina tersebut tidak
memerlukan wali nikah karena ia bisa menikahkan dirinya sendiri. Keempat,
kalau kita merujuk kepada UU no.1 tahun 1974 dan KHI maka anak tersebut
bisa dikatakan anak yang sah karena ia lahir dalam hubungan pernikahan
walaupun anak tersebut hasil hubungan zina, dengan demikian maka ketika
merujuk kepada aturan tersebut maka wali anak tesrebut adalah lelaki
yang menikahi ibunya tersebut.
Demikianlah
sedikit uraian yang dapat penulis paparkan mengenai kasus yang terjadi
saat ini dan sering diabaikan oleh banyak pihak. Dan penulis memohon
kritik dan saran jika dalam membuat uraian ini banyak terjadi
kesalahan. Wassalam
DAFTAR PUSTAKA
Ghofar, Asyhari Abdul, Islam dan Problem Sosial Sekitar Pergaulan Muda-Mudi (Bimbingan Menuju Keluarga Sejahtera), Jakarta : Akademika Pressindo, 2000.
Ghofar, Asyhari Abdul, Pandangan Islam tentang Zina Dan Perkawinan Sesudah Hamil, Jakarta : Andes Utama, 1996.
As-Shan’ani, Muhammad Isma’il Al- Amiri Yamini, Subulus Salam, Jilid III, Kairo : Daar El-hadis, 1994.
Mukhtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta : Bulan Bintang, 1993.
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, diterjemahkan oleh Nor Hasanuddin, Cet I, Jakarta : Pena Pundi Aksara
Khoirudin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, Jakarta : INIS, 2002.
Jadi intinya dalam hukum islam anak diluar nikah itu bila mau dinikahkan harus memakek wali hakim, begitukah min,!??
ReplyDeleteMohon penjelasan lebih lanjut,,!!
Kita ketepikan dulu hukum ketatanegaraan,!!
dari sekian pendapat fuqoha. imam syafi' yg jadi imam kita mengatakan bahwa anak zina perempuan apabila mau nikah maka walinya adalah wali hakim yaitu kepala kua.
ReplyDeletemaaf tanya, tdi klo anak itu lhir krang dri 6bln walinya tidak ada, nah kalo si laki2 dan wanita itu menikah saat usia anak dikandungan 1 blan walinya tetep bapaknya ya? kan itu lbih dri 6bln,, makasih sebelumnya. mhon diperjelas
ReplyDeletekalau 1 bulan dari kehamilan lalu nikah dan 12 bulan kemudian bayi lahir perempuan maka walinya bpknya tadi. kan 11 bulan lebih dari 6 bulan itu menurut madzab syafi'i.
ReplyDeleteMaaf mksudnya kurang faham..masak hamilnya 13bulan??
Deleteiya insyaallah betul...
Deletemas admin ayah ibu kandung menikah secara sah 2 bulan (setelah nifas 40hari) setelah anak perempuan pertamanya lahir,maka nasab anak tsb mash ke ayahkah?lalu jika anak perempuan tsb hendak menikah siapa walinya,thx..wassalam..
ReplyDeletekalau menurut madzab syafii maka walinya anak prp jika mau nikah adalah hakim. jadi ayahnya tdk berhak menjadi wali. karena menikahinya sudah lebih 6 bulan. bahkan kasus di atas sesudah melahirkan.
ReplyDeletecontoh ijab qabul untuk anak perempuan yang lahir diluar nikah tapi bapaknya tetap menikahi ibunya saat usia kandungan menginjak 6 bln
ReplyDeleteIjab qobulnya seperti pd umumnya. Contoh. Wali : Saya nikahkan kamu dg anak/ saudara perempuan saya dg maskawin......dibayar tunai.
ReplyDeletecalon manten lk2: saya terima nikahnya dg maskawin tersebut.
Ayah dan ibu kandung menikah saat usia kandungan 2 bulan. Tp ternyata si bayi lahir prematur..jadi jarak nikah ortu dan bayi perempuan lahir kurang dari 6 bulan.
ReplyDeleteKelak jika anak tersebut menikah siapa walinya???
saat usia kehamilan 3 bulan menikah secara resmi, dan 5 bulan kemudian lahir bayi permpuan prematur, jadi siapa wali nikahnya kelak mohon penjelesan
ReplyDeletesaat usia kehamilan 3 bulan menikah secara resmi, dan 5 bulan kemudian lahir bayi permpuan prematur, jadi siapa wali nikahnya kelak mohon penjelesan
ReplyDeletemas admin,apakah semua anak perempuan yang lahir di luar pernikahan yang sah, walinya hanya wali hakim??
ReplyDeletebagaimana hukumnya jika walinya saudara kandung se-ibu??
Mas kalo sewaktu nikah menyebutkan nama ayah laki lakinya gimana..??
ReplyDeleteContao saya terimah nikanhya si polan binti si...... Sah atou yidak mas
sebenarnya yang jadi patokan menurut salah satu madzab 4..adalah ketika bayi itu sudah di tiupkan ruh ( biasanya umur 4 bulan di kandungan). jadi kalau sebelum 4 bulan ..di nikahi oleh lelaki maka lelaki yg menikahi itu berhak menjadi walinya....namun jika setelah 4 bulan di kandungan baru di nikahi oleh lelaki.. maka lelaki tadi nanti tidak boleh menjadi wali...
ReplyDeletebegitu jawaban saya ..yg mungkin banyak kekurangannya.mohon tambahannya.
Menurut saya apa tidak lebih baik mengikuti UU perkawinan dan KHI, yang sudah resmi diberlakukan oleh pemerintah,...dalam Fiqh lima madzhab disebutkan, nasib anak yang lahir kurang dari enam bulan dari pernikahan orangtuanya, maka tergantung suami( wanita) tersebut.kalau dia mau dia bisa menolaknya dan bisa pulua mengakui sebagai anaknya mengaitkan nasabnya pada dirinya..sumber fiqih lima mazhab,2007. hal 386, silakan dikoreksi...
ReplyDeletebagaimana seandainya anak tersebut lahir lebih dari enam bulan dari semenjak pernikahannya, baik itu dihitung dari akad maupun watak. anggap saja 8 bulan anak tersebut baru lahir .dihitung dari peenikahan .....!!
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAssalamualaikum...
ReplyDeleteBagaimana jikalau kasusnya seperti ini, ibu dan ayah akad ketika bayi perempuan usia 3 bulan di dalam kandungan. Nah, sekarang anak perempuan di luar nikah ini ingin tetap ayahnya menjadi wali nikah. Apabila menikah siri terlebih dahulu dengan wali hakim, namun nanti pada saat akad kua wali nikah adalah ayah kandung. Mohon pemcerahannya...
Terima kasih