Wanita yang hamil karena zina atau istilah sekarang “kecelakaan” merupakan kehamilan yang tidak dihormati syara’ karena sperma yang masuk ke dalam rahimnya adalah ghoiru muhtarom (tidak dihormati).
Menyikapi masalah anak yang dilahirkan secara
tidak sah (sebelum menikah) tersebut Mahkamah Konstitusi (MK) telah
memutuskan bahwa anak tersebut berhak mendapatkan status keturunan dari
bapaknya. Secara otomatis keputusan ini terkait dengan hak waris, hak
pendidikan anak, atau lainnya.
Bagaimana pandangan Islam mengenai hal ini? Di
dalam Islam anak yang terlahir bukan dari pernikahan yang sah sering
disebut sebagai anak haram. Sebetulnya yang haram adalah perilaku orang
tuanya (berzina). Sedangkan setiap anak yang terlahir di muka bumi ini
adalah fitrah (suci).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُودٍ
يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda,
""Setiap anak terlahir dalam kondisi fitrah, kedua orang tuanya-lah
yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani.” Shahih: At-Tirmidzi (2237) Muttafaq 'Alaih.
Sebelumnya kita rujuk beberapa pandangan Imam 4 madzhab (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali). Alasan menggunakan rujukan (maraji’)
madzhab yang 4 ini adalah karena dibandingkan dengan pandangan madzhab
lainnya, keempat madzhab ini tergolong kategori madzhab yang mudawan,
yakni memiliki kompilasi atau susunan yang teratur mengenai kajian
masalah Fiqh, dari Bab Thaharah dst. Sehingga dapat
dipertanggungjawabkan. Sedangkan madzhab lainnya (seperti madzhab
Zhahiri, Nakho’i) tidak ada mujtahid di bawahnya yang mengembangkan dan
menyusunnya (tadwin), sehingga ada pembahasan yang hilang (tidak lengkap) kajiannya.
Di kalangan madzhab yang 4 ada sekumpulan Ulama
Mujtahid yang mengumpulkan, memfatwakan, dan mentarjih (menseleksi),
sehingga paham madzhab yang 4 ini masih lestari sampai sekarang.
Menurut Imam Syafi’i dan Abu Hanifah, seorang
wanita yang hamil di luar nikah, sah dinikahkan tidak menunggu
kelahiran, baik kepada laki-laki yang berzinah dengannnya maupun kepada
laki-laki lain yang menginginkannya. Namun sebelum itu mesti dihukum
dahulu menurut ajaran Islam. Sesuai dengan Firman Allah SWT,
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ [٢٤:٢]
Perempuan yang berzina dan laki-laki
yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali
dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari
akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman. (Q.S. An-Nur: 2)
Pelaku perbuatan zina di dunia menjadi aib serta
mendapatkan siksa. Begitu aib perbuatan zina itu, sehingga hukumannya
mesti dipresentasikan di tempat yang terbuka agar diketahui oleh orang
banyak. Pemandangan seperti itu akan menjadi shock terapy bagi yang
melihatnya untuk menghindari perbuatan hina tersebut dan memberikan
efek jera bagi pelakunya. Hukuman ini sebagai bentuk taubat. Punishment
(hukuman) ini tidak bisa dilakukan di negara yang telah memiliki hukum
sendiri seperti negara kita. Negara ini belum ada hukuman yang jelas
bagi pelaku zina. Jika dua orang berzina melakukannya atas dasar suka
sama suka tidak ada hukumannya, kecuali ada salah satu di antara
keduanya yang merasa dipaksa.
Seharusnya di negara kita mesti ada sangsi yang tegas bagi pelaku zina. Yang
amat disayangkan negara ini diseret oleh perkara yang tidak habis-habis
dibahas oleh pembuat undang-undang. Urusannya banggar, KPK, dan
seterusnya yang menyangkut korupsi berkepanjangan.
Karena belum ada hukumannya di negeri ini bukan berarti aman atau tidak berdosa melakukan zina! Neraka lah tempatnya nanti! Maka siapakah yang bertanggungjawab mengenai urusan perzinahan yang bebas di negeri ini? Tentu pemimpin negeri inilah yang membuat perundang-undangan, nanti akan ikut bertanggung jawab di hadapan Allah kelak!
Karena statemen ‘dilakukan suka sama suka’ inilah
yang mengaburkan masalah perzinahan sehingga mereka anggap biasa-biasa
saja perkara aib tersebut.
Salah satu penyebab negeri ini terus terpuruk
dalam berbagai hal adalah karena penyakit-penyakit di masyarakat
termasuk perzinahan dibiarkan begitu saja. Bahkan malah dilokalisir di
tempat-tempat tertentu.
Kita mesti takut dengan perbuatan-perbuatan yang
dilarang Allah meskipun negeri ini belum membijaki hukumannya. Padahal
Al-Quran telah menetapkan hukumannya (sebagaimana ayat yang telah
disebutkan).
Lalu bagaimana membijaki masalah ini di negara
yang belum memberlakukan hukuman atas pelaku perzinahan? Maka jika
terjadi kasus hamil di luar nikah maka pelaku mesti diberikan pelajaran
dengan hal lain yang tidak bertolak belakang dengan undang-undang
negara. Keduanya mesti dinasehati agar sadar dengan kesalahannya, dan
jangan dibiarkan begitu saja. Lalu digiring agar ia bertaubat dan tidak
mengulanginya lagi.
Setelah melakukan proses taubat, maka menurut Imam Syafi’i boleh dinikahi tanpa mesti menunggu anaknya lahir.[1]
Setelah lahir tidak perlu dilakukan akad (nikah) yang baru. Status anak
menurut Imam Syafi’i, apabila sejak akad kemudian lahir kurang dari 6
bulan maka anak tersebut dinisbahkan kepada Ibunya bukan Bapaknya
(binti Ibunya). Jika ia menikah kelak maka ia diwalikan oleh Hakim.
Jika anak tersebut lahir setelah 6 bulan lebih sejak akad, maka anak
tersebut dinisbahkan kepada Bapaknya dan Bapaknya berhak menjadi wali
nikah anak tersebut jika perempuan.
Menurut Imam Abu Hanifah, wanita hamil itu sah
dinikahkan setelah bertaubat, baik kepada laki-laki yang berzinah
dengannya atau laki-laki lainnya. Hanya selama wanita itu hamil tidak
boleh melakukan hubungan badan. Anak itu (menurut madzhab Hanafi)
dinisbahkan kepada Bapak biologisnya, yakni yang menghamili wanita
tersebut. Pada masa sekarang semakin mudah menentukannya berdasarkan
tes DNA.
Menurut Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal, wanita yang hamil tidak boleh dinikahkan, sampai anaknya lahir. Seperti masa ‘Iddah.
Barulah setelah anak itu lahir wanita tersebut boleh dinikahkan oleh
laki-laki yang menghamilinya atau laki-laki lainnya. Dan menurut kedua
madzhab ini, status anak yang lahir dinisbahkan kepada ibunya.
Menurut Undang-undang Hukum Islam yang berlaku di
Indonesia (Kompilasi Hukum Indonesia - KHI) wanita hamil di luar nikah
boleh dinikahkan (sesuai dengan madzhab Syafi’i dan Hanafi). Pada point
kedua disebutkan bahwa yang menikahkan wanita tersebut adalah yang
menghamilinya, sebagai bentuk pertanggungjwaban apa yang telah
diperbuatnya. Point yang ketiga, anak yang lahir dari perut wanita tadi
dinisbahkan kepada suami yang menikahinya.
Berdasarkan keputusan MK tersebut, anak yang
semula berada di luar pernikahan akhirnya memperoleh hak akta kelahiran
yang dinisbahkan kepada Bapakanya.
Jika terjadi kasus tadi, maka pembimbing yang akan
memprosesnya bersumber kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Kasus yang
terjadi di tengah umat manusia senantiasa. Al-Quran dan Hadits
penjelasannya masih global. Maka Ijtihad Ulama lah yang berperan
membedahnya.
Jika apa adanya berdasarkan Al-Quran, maka ketika
ada yang mencuri langsung dipotong tangannya, tentu ia akan masuk
penjara. Oleh karenanya diserahkan kepada ahllinya.
Bagi kita umat Islam, semestinya kita jauhi
perbuatan zina. Al-Quran menyebutkan untuk tidak mendekatinya.
Berdekatan saja tidak boleh, apalagi melakukannya. Mendekati zina
diharamkan oleh Allah. Bentuknya bisa beraneka ragam, mulai dari
tempatnya, waktunya, caranya, sebabnya, dll. Jika kita kembali kepada
Al-Quran, Insya Allah kita akan selamat dari aib di dunia dan akhirat.
Lq, 29 Feb 2012
[1]
Salah satu kitab rujukan Fiqh Madzhab Syafi’i di Indonesia yaitu
Hasyiyah al-Bajuri, disebutkan: “Jika laki-laki menikahi wanita yang
sedang hamil karena zina maka sah-lah nikahnya, dan boleh menggaulinya
sebelum melahirkannya atas qaul yang paling shahih”. [Juz II hal. 169]
Demikian pula diungkapkan oleh Imam Syarbini dalam kitab Mughnil Muhtaj juz III hal. 308, Hasyiyatul Jamal bagi Syekh Zakaria al-Anshori Juz IV hal 447. Dan rujukan lainnya.
Comments
Post a Comment
TERIMA KASIH ATAS KOMENTAR ANDA.