Tiba-tiba saja kita ingat pesan Gus Dur itu
tatkala
menyaksikan berbagai dinamika sosial-politik akhir-akhir ini. Di
berbagai media
diungkapkan betapa proses demoralisasi partai politik secara sistematis
terjadi. Kabar-kabar dari berbagai daerah tentang pembelian suara
besar-besaran saat pemilu lalu. Antar politisi mulai tampak main
sikut-sikutan. Penanganan hukum masih berjalan terseok,
khususnya kasus-kasus besar seperti BLBI dan century. Perilaku para petinggi
partai dan anggota legislatif yang sangat pragmatis dan jauh dari rasa
keprihatinan rakyat. Diramaikan lagi dengan kasus Mohammad Nazarudin. Hal ini memperkeras suara gugatan kita,
demorasi itu untuk siapa?
Demokrasi sebagai pilihan sistem bernegara-bangsa yang
dianggap paling sesuai, seperti halnya system lainnya yang berserak di berbagai
belahan dunia, pun digagas untuk tujuan mulia; kesejahteraan rakyat dan
meningkatkan harkat martabat manusia. Demokrasi memandang penuh bahwa kekuasaan
di tangan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi mensyaratkan tegaknya
supremasi hukum demi terjaminnya ketertiban dan keadilan. Dan di Indonesia,
demokrasi juga mewajibkan etik penghormatan terhadap tradisi dan nilai-nilai
luhur bangsa ini.
Terjadi kesenjangan yang tajam antara tujuan demokrasi dan
tujuan pelaku demokrasi, khususnya partai politik yang diujudkan oleh perilaku
para elit dan kader-kadernya di eksekutif dan legislatif. Pragmatisme dan
kepentingan pribadi yang kuat telah mengkaburkan tujuan demokrasi yang agung
itu. Sehingga wajar, bila terdengar luas rasa ketidakpuasan dan hampir
ketidakpercayaan di hati rakyat khususnya terhadap partai politik, yang justru
merupakan lokomotif utama demokrasi.
Bila dari awal, saat mencari suara untuk kursi di DPR/DPRD
sudah menghalalkan segala cara di pemilu, termasuk dengan membeli suara atau
menipu suara rakyat. Langsung atau tidak juga dibantu oleh para penyelenggara
pemilu (KPU). Bukan dengan kerja-kerja politik, membantu dan mendampingi rakyat
dalam menghadapi masalah-masalahnya. Bukan dengan rajin bersilaturrahmi pada
tokoh-tokoh masyarakat untuk belajar atau mendengarkan nasehat dan
pandangan-pandangannya. Dan tidak melaksanakan peran agregasi kepentingan
rakyat. Maka sosok yang lebih mirip ‘pedagang politik’ begini tentulah tak bisa
diharapkan sebagai wakil rakyat, apalagi menjadi pemimpin rakyat.
Sehingga logis bila banyak yang memandang bahwa sebagian
besar eksekutif dan legislatif kita sibuk mencari ‘uang pengganti’, sekaligus
‘modal tambahan’ untuk pensiun atau persiapan pemilihan mendatang. Dan bukan
sepenuhnya diabdikan untuk kepentingan rakyat.
Sesungguhnyalah demokrasi juga mensyaratkan meleburnya
kepentingan pribadi eksekutif, legislatif maupun para pengurus partai politik
kedalam kepentingan rakyat, kepentingan bangsa dan negara. Adalah kader bangsa
yang memiliki kematangan jiwa, karakter, keteladanan dan menyadari ‘maqom”-nya.
Adalah kader bangsa yang memiliki ‘kesalehan politik’. Yang memiliki ‘keberkahan’. Tegas dan berani bersikap, mengambil tindakan
untuk kepentingan orang banyak, meski tidak popular dan dimaki.
Memang, kanjeng Nabi Muhammad telah mengingatkan kita. Bahwa
ada segumpal daging dalam tubuh manusia, jika itu baik maka pikiran, ucapan,
dan tindakannya akan baik. Segumpal daging itu adalah hati. Dan dalam
bernegara-bangsa, dalam berinstitusi, hatinya ada pada sang pemimpinnya. Maka
kalau hati sang pemimpin baik, akan baiklah seluruh pikiran dan gerak langkah
institusi itu. Akan terjaminlah tujuan demokrasi itu; meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan harkat martabat manusia.
Dan Gus Dur selalu mengingatkan kita, hingga hari ini, bahwa
hati (kejujuran) harus menjadi dasar
pijak laku demokrasi, laku bernegara-bangsa. Adalah nasehat untuk menjadi
bangsa yang saleh. Karena kesalehan bersemayam didalam hati. Terutama, hati
sang pemimpin!
Comments
Post a Comment
TERIMA KASIH ATAS KOMENTAR ANDA.