Saudaraku,
Mayoritas manusia saat ini tidaklah begitu mengenal jati dirinya yang sebenarnya, padahal Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam sendiri mengingatkan bahwa mengenal diri sendiri adalah langkah pertama dalam mengenal Allah Azza wa Jalla sebagai Tuhan seluruh alam. Sebagaimana Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam yang disebutkan dalam hadits,
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ وَمَنْ عَرَفَ رَبَّهُ فَسَدَ جَسَدَهُ
“Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya, dan barangsiapa yang mengenal Tuhannya maka binasalah (fana) dirinya."
Dari hadits tersebut kita bisa mengetahui bahwa mengenal diri sendiri sangatlah penting bagi kita karena dengan mengenal dirinya sendiri sebagai manusia ciptaan Allah Azza wa Jalla dapat menundukkan syahwat duniawi...
Saudaraku,
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhamad al-Ghazali dalam kitabnya _Kîmiya’us Sa‘adah_ mengatakan bahwa mengenal diri ( _ma‘rifatun nafs_) adalah kunci untuk mengenal Allah Azza wa Jalla. Logikanya sederhana: diri sendiri adalah hal yang paling dekat dengan kita; bila kita tidak mengenal diri sendiri, lantas bagaimana mungkin kita bisa mengenali Allah Azza wa Jalla? Imam al-Ghazali juga mengutip hadits Rasulullah _man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu_ (siapa yang mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya). Allah Azza wa Jalla berfirman,
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى؟ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di dunia ini dan di dalam diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar.”
(QS. Fusshilat: 53)
Saudaraku,
Tentu saja yang dimaksudkan Imam al-Ghazali di sini lebih dari sekadar pengenalan diri secara lahiriah: seberapa besar diri kita, bagaimana anatomi tubuh kita, seperti apa wajah kita, atau sejenisnya. Bukan pula atribut-atribut yang sedang kita sandang, seperti jabatan, status sosial, tingkat ekonomi, prestasi, dan lain-lain...
Lebih dalam dari itu semua, yang dimaksud dengan “mengenal diri” adalah berusaha menjawab berbagai pertanyaan mendasar: Siapa aku dan dari mana aku datang? Ke mana aku akan pergi, apa tujuan kedatangan dan persinggahanku di dunia ini, dan di manakah kebahagiaan sejati dapat ditemukan? Di sini kita diantarkan untuk memilih dan memilah, mana yang bersifat hakiki dalam diri kita dan mana yang tidak. Serentetan pertanyaan sederhana namun sangat kompleks. Memerlukan perenungan diri untuk menjawab satu persatu pertanyaan tersebut...
Saudaraku,
Untuk mengenali diri sendiri, Imam al-Ghazali mengawali penjelasan dengan menyebut bahwa dalam diri manusia ada tiga jenis sifat: pertama, sifat-sifat binatang ( _shifatul bahaim_), kedua, sifat-sifat syaitan ( _shifatusy syayathin_), dan ketiga, sifat-sifat malaikat ( _shifatul malaikah_)...
Kebahagiaan hewani adalah ketika ia kenyang, mampu memuaskan hasrat dirinya, atau sanggup mengalahkan lawan untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri, atau setidak-tidaknya untuk keluarganya.. Sedangkan kebahagiaan syaitan adalah tatkala berhasil mengelabuhi yang lain atau memproduksi keburukan. Sementara kebahagiaan malaikat ialah saat diri kian mendekat kepada Allah Azza wa Jalla dan semua aktivitas hidupnya merupakan cerminan dari kedekatan itu...
Saudaraku,
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa diri manusia layaknya sebuah kerajaan yang terbagi dalam empat struktur pokok: jiwa sebagai raja, akal sebagai perdana menteri, syahwat sebagai pengumpul pajak, dan amarah sebagai petugas sekuriti...
Saudaraku,
Syahwat memiliki karakter untuk menarik manfaat, kenikmatan, dan keuntungan sebanyak-banyaknya. Ia befungsi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan individu. Sementara amarah berfungsi melindungi dari berbagai ancaman atau mudharat, karenanya ia identik dengan karakter berani, cenderung kasar dan keras. Keduanya penting untuk kehidupan manusia...
Dengan syahwat manusia tahu akan kebutuhan makan misalnya; dengan amarah, ia mengerti akan perlunya membela diri ketika serangan mengancam. Namun syahwat dan amarah harus didudukkan di bawah kendali akal dan tentu saja di bawah raja. Apabila syahwat dan amarah menguasai akal/nalar maka kerajaan terancam runtuh. Sebab susunan “kekuasaan” tak berjalan menurut kontrol seharusnya...
Syahwat yang di luar kendali akal dan jiwa akan memunculkan sifat-sifat buruk seperti rakus atau tamak. Sementara amarah yang tak terkendali akan menimbulkan kebencian dan kecurigaan berlebihan sehingga muncul sikap-sikap membabi buta dan semena-mena...
Akal pun mesti berada di bawah kendali jiwa atau hati ( _qalb_ ). Akal memang memiliki potensi yang istimewa: berpikir, berimajinasi, menghafal, dan lain-lain. Bila ia bertindak liar maka potensi akal untuk menjadikan manusia sebagai tukang tipu daya atau semacamnya sangat mungkin. Kalau kita pernah mendengar kalimat “orang pintar yang gemar minterin (memperdaya) orang lain” maka itu tak lain akibat akal bertolak belakang dengan nurani, tidak berada dalam naungan jiwa yang bersih. Untuk mencapai jiwa yang berkuasa utuh, Imam al-Ghazali menekankan adanya perjuangan keras dalam olah rohani ( _mujahadah_) demi proses pembersihan jiwa atau _tazkiyatun nafs._ Jiwa yang jernih akan memicu munculnya cahaya ilahi yang memberi petunjuk manusia akan jalan terbaik bagi langkah-langkahnya. Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (mujahadah) untuk untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”
(QS. Al-'Ankabut: 69)
Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam bersabda,
وَإِنَّمَا يَخِفُّ الحِسَابُ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا
“Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia.”
(HR. Tirmidzi)
Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa menundukkan syahwat duniawi untuk meraih ridha-Nya...
Aamiin Yaa Rabbal Aalamiin.
Wallahua'lam bishawab
Yaa Alloh Yaa Roob...
Ampunilah dosa dan kesalahan Murobi dan guru² kami.
Ampunilah kedua orang tua kami, ampunilah kami keluarga kami dan saudara² kami.
Yaa Allah Yaa Roob...
Sehat dan sembuhkan saudara dan sahabat kami yg lagi sakit.
Jadikan kami dan keluarga kami sehat dzohir bathin.
Lindungilah kami dari berbagai penyakit bencana dan kesulitan lainnya.
Jadikan kami, insan yang pandai bersyukur dan bisa membahagiakan orang lain.
Jadikan kami menjadi lebih baik dan lebih bermanfa'at.
*Robbana Taqobbal Minna*
Ya Allah terimalah dari kami (amalan kami) Aamiin.
😊❤️👍
Comments
Post a Comment
TERIMA KASIH ATAS KOMENTAR ANDA.